Hei,hei,hei teman-teman, saya lagi seneng nih 🙂 . Jadi ceritanya minggu lalu saya menang blog competition yang diadakan Kompasiana & Kemenpar. Lumayan banget jalan-jalan gratis nginep di ecoresort Pulau Bidadari 2h1m. Terharu sekali akhirnya ada yang menghargai tulisan saya, terharu juga akhirnya ngerasain jadi turis, *maklum biasanya ngegembel.hehehe. Sebagai peserta kita diwajibkan bikin tulisan tentang review kegiatan tersebut, (Artikel sudah di Pubblish di Kompasiana tgl 27 Oktober 2015). Nah karena di tulisan tersebut nggak bisa narsis banyak harus sedikit jaim, jadinya saya repost di blog ini dengan sedikit tambahan foto & caption yang dibuang sayang (ada tanda +). Tak usah panjang lebar lagi, selamat membaca 🙂
~~~~~~~~~~
Ajaklah teman atau kerabat kalian mengunjungi Pulau Onrust, untuk melihat peninggalan sejarah, karena belum tentu 50 tahun lagi masih ada”, ucap Pak Candrian sang arkeolog itu terus membenak di pikiran saya.
Sabtu pagi ini tak biasanya saya sudah bergegas meninggalkan rumah, biasanya masih masih berkelana di alam mimpi. Yap, saya mendapat kesempatan ikut serta dalam Eksplorasi Pesona Bahari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta yang diadakan oleh Kompasiana dan Kementrian Pariwisata karena tulisan saya menjadi salah satu dari 20 terbaik di event blog competition Pesona Bahari.
Tak pernah terlintas di pikiran saya bisa menang, eventnya saja baru tau H-1, buat akun Kompasiana di tanggal deadline dan posting di tengah kepanikan.
”Gawat..udah jam 21:00 WIB, tapi ejaannya masih banyak yang salah”,
“Duh ini caption foto nya kok berantakan”,
“Aduh ini bagaimana previewnya?”
“Akkkkkkk, hasil editannya hilang, enggak ke-save lagi,*hikks”
Saat bertemu dengan tim Kompasiana di hari H, terlintas di benak saya untuk bertanya, “Mas atau Mba kemarin pas baca tulisan saya enggak lagi ngantuk kan?” tapi saya urungkan niat tersebut daripada saya ditinggal naik kapal. Tidak jadi bertanya saja saya nyaris ketinggalan kapal, hehehehe maklum namanya juga jiwa Bolang (Bocah Petualang Ilang). Salut buat tim Kompasiana yang tidak pandang bulu dalam menjuri tulisan para peserta.
Hari Pertama, Sabtu, 24 Oktober 2015
Waktu menunjukkan pukul 11:00 WIB, tidak terasa speed boat yang saya tumpangi bersama teman-teman, sudah berlabuh di dermaga Pulau Bidadari. Kami pun disambut dengan welcome drink dan sepatah dua patah kata sambutan dari panitia penyelenggara. Tanpa panjang lebar kegiatan ekplorasi dimulai dengan dipandu oleh Bapak Candrian Atthiyyat sang Arkeolog yang akan mendampingi menelusuri jejak-jejak peninggalan sejarah di abad 16-18 Masehi yang ada di Pulau Bidadari. Pulau yang luasnya mencapai 6 hektar ini dulunya terdapat rumah sakit untuk para penderita Lepra, namun sekarang dikelola menjadi Bidadari eco resort ramah lingkungan dimana 40% dari luasnya masih merupakan habitat alami. Tak heran jika masih ada biawak berukuran 1-3 meter dan elang bondol yang bisa kita lihat jika beruntung.



Menurut Pak Candrian Benteng Martello mengadaptasi Mortella Point di Italia, dimana Mortella Point ini berhasil menahan serangan Inggris ke Italia di abad 15. Pasukan Inggris yang terkesan dengan keefektifitasan benteng ini kemudian mengadaptasinya di wilayah perang lain. Karena ada perbedaan bahasa pasukan Inggris menyebutnya jadi Martello. Nah, Pasukan Belanda pun tidak mau kalah sehingga membangunnya di Pulau Onrust, Pulau Kelor dan Pulau Bidadari sebagai pos pertahanan barat. Selain pos pertahanan barat, VOC juga mendirikan pos pertahanan timur di Pulau Edam atau sekarang disebut Pulau Damar Besar. Kalau mau sejarah lengkapnya silahkah klik disini.

Setelah mendengarkan paparan Pak Candrian tentang peninggalan sejarah yang ada di Pulau Bidadari rombongan kami pun istirahat makan siang, mengisi tenaga untuk melanjutkan ekplorasi ke Pulau Onrust, Pulau Kelor dan Pulau Cipir.


Hanya butuh sekitar 15 menit dari Pulau Bidadari menuju Pulau Kelor dengan kapal tradisional. Pak Candrian langsung mengarahkan kami ke bekas reruntuhan karantina haji. Yap, selain sebagai tempat persinggahan kapal dan pos pemantauan (James Cook dan Abel Tasman pernah singgah di Pulau ini untuk mengisi perbekalan), Pulau Onrust juga sempat dijadikan karantina haji. Saat masa kolonial dahulu kala, sebelum berlayar berbulan-bulan untuk pergi haji, orang-orang tersebut dikarantina dahulu agar terbiasa dengan cuaca laut. Dan setelah pulang tidak terkena penyakit menular yang sedang mewabah yaitu Lepra. Penyakit yang memiliki nama lain kencing tikus menjadi penyebab kematian muda bagi warga Belanda dan masyarakat lokal di masa itu.


Banyak kisah yang tertinggal dan masih menjadi misteri di Pulau ini, mulai dari legenda terowongan dan harta karun emas hingga kisah hantu wanita Belanda, Maria Van De Velde, yang katanya sih kerap terlihat membawa lentera di pantai, menunggu kekasihnya tiba dengan kapal.


Sejarah lengkap pulau Onrust bisa kita lihat di museum kecil yang dibangun pemprov DKI Jakarta untuk melestarikan benda arkeologi yang masih ada.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 WIB, rombongan kami bergegas ke tujuan selanjutnya, Pulau Kelor. Pulau yang memiliki luas sekitar 1,5 hektar ini juga terdapat sisa reruntuhan benteng Martello. Bentuk benteng ini hampir sama dengan yang ada di Pulau Bidadari.




Tak terasa matahari mulai meredupkan cahayanya di ufuk barat, itu tandanya kami harus segera balik ke Pulau Bidadari. Sayang sekali tidak sempat berkunjung ke Pulau Cipir yang terdapat bekas bangunan asrama haji. Tapi tak apalah, berkunjung ke Pulau Onrust sudah bisa menjelaskan banyak seribu kisah yang belum saya ketahui tentang peradaban teluk Jakarta di jaman dahulu.

Malam harinya kegiatan kami diisi dengan acara ramah tamah dan barbeque. Sangat berkesan sekali bagi saya, karena ini pertama kalinya bisa bergabung dan berkenalan dengan blogger kompasiana lainnya dengan segudang pengalaman mereka. Bagaimana tidak berkesan, sebelum ikut blog trip ini saya hanya menulis di blog pribadi saja, hanya ingin mengabadikan kisah, syukur-syukur tulisan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi orang lain.
Saya belum memiliki kenalan blogger lainnya yang bisa dijadikan mentor atau sekedar sharing. Ada yang berkunjung dan comment di blog rasanya sudah besyukur karena artinya orang lain mengharagai karya kita. *sstt Tin, kok kamu jadi curcol sih, yuk tidur sudah jam 22:00 WIB, besok subuh kita mau hunting sunrise.
Hari kedua, Minggu, 25 Oktober 2015
Adzan Subuh telah berkumandang, selesai sholat subuh saya dan rombongan akan hunting sunrise di sekitar perairan Pulau Onrust ditemani Pak Candrian. Sayangnya matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Kamera saya juga kurang mendukung sehingga hanya sedikit foto sunrise yang saya dapatkan.


Pukul 05:30 WIB kami sudah merapat kembali ke Pulau Bidadari. Karena masih penasaran belum dapat sunrise saya pun mengajak Aida ke arah pantai di timur Pulau Bidadari, beruntung Pak Candrian mau menemani, sehingga terjadilah foto session bersama Pak Candrian dan teman-teman lainnya.


Selesai sarapan teman-teman lainnya melanjutkan naik banana boat. Karena saya nggak bisa berenang malas basah-basahan, saya melipir main sepeda bersama Riri (sahabat saya yang kebetulan juga ikut trip ini). Kamipun memuaskan diri menikmati pesona pulau Bidadari yang belum kami eksplore sebelum kembali ke Jakarta daratan.



Mengekplorasi pulau-pulau tersebut membuat hati saya miris, karena hanya ada sisa bangunan bekas reruntuhan yang terkesan angker. Pak Candrian pun menyayangkan di tahun 1970an pernah terjadi penjarahan sisa bangunan untuk dijadikan bahan bangunan rumah mereka dan hal itu di legalkan oleh pemerintah masa itu. Sehingga hanya sedikit yang tersisa dan belum tentu bertahan hingga 1 abad karena ancaman abrasi hingga bencana alam lainnya.
Memang saat ini sudah sangat ramai wisatawan yang berkunjung ke Pulau-Pulau tersebut, namun tak dapat dipungkiri terlalu banyak wisatawan juga bisa mengancam kelestarian cagar budaya jika tidak disertai perlindungan yang baik. Maka dari itu perlu peran dari kita semua untuk melestarikan cagar budaya tanpa menutup perkembangan pariwisata di kawasan tersebut.
Pak Candrian sendiri memberikan solusi agar dibuat Open Air Museum, dimana wisatawan juga diajak untuk melakukan kegiatan arkeologi sehingga secara langsung ikut melestarikan cagar budaya yang tersisa, namun dengan syarat pengunjung mesti dibatasi. Saya sangat mendukung ide Pak Candrian ini, semoga lewat tulisan ini anak-anak muda seperti saya bisa menjadi wisatawan yang bertanggung jawab dan semoga pihak-pihak terkait bisa segera melakukan tindakan nyata.
Hmmm sepertinya sudah nggak ada ide nulis lagi sangat panjang tulisan saya, terima kasih kepada Kompasiana dan Kementrian Pariwisata yang sudah membuat blog trip ini yang tak lain sebagai tindakan nyata mengembangkan wisata bahari dan wisata sejarah di Kepulaun Seribu.

