Setelah 2 jam perjalanan naik taksi yang menegangkan, tibalah kami di Nayapul, sebuah kota kecil yang menjadi salah satu pintu masuk trekking di kawasan Annapurna Region. Mr. Khrisna, si supir taksi menunjukkan arah menuju check post untuk register ulang trekking permit yang kami miliki. Setelah ia pamit, kami kemudian celingak-celinguk mencari trekker lain yang akan menuju Tikedhunga, tentunya akan lebih aman kalau trekking bersama. Aha ! itu dia ada rombongan trekker lain disana, mungkin mereka juga ingin kearah Tikedhunga, dan kami pun mengikuti mereka dari belakang.


Ternyata dari tempat turun taksi/Bus Nayapul menuju TIMS check post 1 masih cukup jauh, sekitar 15 menit berjalan kaki. Ada 2 check post yang kami hampiri, keduanya sama-sama mengecek passpor, TIMS dan Trekking Permit para trekker.






Ternyata rombongan trekker Cina itu mengambil jalur berbeda menuju Poon Hill, mereka memilih jalur pergi melalui Ghandruk, berkebalikan dengan kami. Kami pun akhirnya meneruskan perjalanan hanya berdua saja. Bismillah, semoga kami selamat sampai tujuan. Trekking kami mulai dari pukul 13:00, Dai Raj bilang kami akan sampai Tikedhunga setelah 3-4 jam berjalan kaki atau sekitar pukul 17:00. Trekker lainnya yang memulai trekking di pagi hari biasanya meneruskan sampai desa Ulleri, tapi karena kami mulai siang hari jadi target kami hari itu hanya sampai Tikedhunga.
30 menit perjalanan pertama kami melintasi desa Birethanti yang punya bangunan khas Nepal, dimana bangunan rumah dan jalanannya terbuat dari batu. Kami bertemu anak kecil yang menggemaskan, ia tertarik dengan gantungan dompet kucing milik saya, namun tampak malu dan takut untuk memegangnya. Ia berceloteh ini itu dalam bahasa Nepal, namun sayangnya kami tak mengerti, akhirnya kamipun berkomunikasi dengan bahasa isyarat.


Selepas jalur desa Birethanti, kami melintasi jalur lembah sepanjang sungai. Jalurnya sungguh indah, masih mirip di Jawa sebenarnya. Hamparan sawah terbentang hijau diiringi gemericik air sungai yang jernih dan berbatu. Disekitarnya deretan pegunungan hijau lebat menjadi latar belakangnya. Beberapa kali kami lihat ada air terjun yang jatuh langsung dari tebing pegunungan.



Memasuki desa Hille, kami sempat berhenti dan beristirahat sejenak di sebuah tea house karena hujan turun cukup deras. Segelas milk tea menemani istirahat kami sambil menikmati hujan di alam Himalaya, hmmmm sungguh nikmat !


2 jam selanjutnya jalan mulai menanjak dan berbatu, namun masih mudah dilalui karena sudah dibuatkan anak tangga. Kami sempat bingung karena jalan banyak bercabang, untungnya masih ada beberapa warga desa melintas sehingga kami bisa bertanya arah menuju Tikedhunga / Poon Hill.

Oh iya, di sepanjang jalan, kalian akan banyak bertemu anjing, tapi tenang saja anjing disini ternyata ramah-ramah. Selama kalian tidak usil, mereka tidak akan menggongong atau mengejar. Kami pun bertemu seekor anjing hitam di desa Hille yang kemudian mengikuti kami hampir 2 jam perjalanan hingga sampai ke Tikedhunga. Kadang ia jalan di depan kadang ia jalan di belakang kami sambil sibuk mengendus semak-semak. Saat kami lelah dan berhenti duduk, ia pun ikut berhenti menunggu kami kembali berjalan. Sesekali kami memberinya biskuit dan ia senang memakannya. Saat ada jalan bercabang ia jalan lebih dulu namun menunggu kami, seperti tahu kami akan bingung memilih jalan. Dan ternyata jalan yang dipilih anjing memang benar karena ada panah penunjuk rute di jalan yang dipilihnya. Entah hanya kebetulan atau tidak, tapi kehadirannya sangat membantu kami.


Di pintu masuk desa Tikedhunga kami sempat berhenti karena Riri kebelet pipis, disitu kami bertemu anjing lainnya milik seorang warga yang tak kalah jinak. Namanya Kaali, ia diajarkan untuk ramah kepada para trekker. Ketika Trekker menjulurkan tangan untuk bersalaman maka ia akan menjulurkan tangannya juga. Tentunya atas perintah sang majikan. Kami pun mencoba bersalaman dengan Kaali dan berhasil !


Syukurlah, dalam 4 jam perjalanan kami sampai di desa Tikedhunga. Akhirnya kami hárus berpisah dengan si anjing, entah ia pergi kemana. Mungkin tiap anjing punya wilayah antarnya masing-masing. Kami langsung mencari Chandra Guest House, kata Riri banyak yang merekomendasikan guest house ini karena instagramable.Wah ternyata memang benar, walau fasilitisnya sederhana tapi bentuknya cukup unik dan harga sewa kamarnya murah hanya Rs. 300 per kamar. Kami pun tak pikir panjang lagi dan langsung memlilih kamar.



Hai mulai gelap dan kami bergegas untuk mandi, namun saat ganti baju di kamar ada drama horor yang menimpa menimpa kami.
“Tin, sejak kapan lo punya tompel di pinggang, kok ada item-item ?” tanya Riri yang melihat bagian punggung saya saat membuka kaos.
“Ahhh nggak punya perasaan, itu bekas luka kali” jawab saya
“Tunggu-tunggu gue liat dari deket” kata Riri sambil mendekat
“Demi apaaaaaaaaa ituuuu PACETTTTTT !!! lo emang gak berasa ? GILA GILA GILA, itu udah gendut pacetnya ! aduh gue harus apaaaaaaa ???!! tisu mana tisu !!!! teriak Riri sambil teriak heboh naik kasur.
Sayapun tak bergeming, tak berani melihat apalagi memegang, takut tapi mencoba tak panik.
“Riiiiii, bawa minyak kayu putih kan ?? siram aja pake minyak terus ambil pake tisu” suruh saya, dengan suara memelas.
“Tungu tunggu tunggu, sebentarrrrr gue cari dulu, udah diem ajaaa disitu, jangan kemana-mana nanti dia LONCAT !!!”
Riri masih gerabak-gerubuk ketakutan, mukanya lebih pucat pasi dari saya karena memang ia sangat takut hewan sejenis ini. Ahahaha, dalam hati saya, “gue yang kena pacet kenapa lo yang lebih HEBOOH deh Riiii!!!”
Akhirnya sambil teriak-teriak Riripun berhasil mencopot sang pacet dan membuangnya jauh-jauh, kemudian ia langsung inspeksi memeriksa seluruh badannya hingga ke sepatu, tas, trekking pole dan semua benda yang mungkin bersentuhan dengan semak dan tanah.

Setelah diingat kembali, saya memang sempat duduk sembarangan di dekat semak. Ahh mana saya tahu kalau ia menempel di pinggang saya. Esok harinya pun kami memastikan pakaian kami selalu rapat agar tidak ada celah untuk pacet nempel.
Malamnya, kami turun ke ruang makan guest house untuk pesan makan malam, sekaligus meminta akses wifi dan charge semua bawaan gadget. Rata-rata guest house disini memang hanya menyediakan colokan listrik di ruang makan begitupun akses wifi. Ada yang harus bayar tambah, ada juga yang free. Di Chandra Guest House sendiri free untuk charge gadget, tapi ada tarif tambahan untuk akses wifi, saya lupa berapa tarifnya, karena saat itu wifi sedang bermasalah.

Kami memesan Garlic Soup yang katanya bagus untuk membantu aklimatisasi di dataran tinggi dan menjaga daya tahan tubuh dari cuaca dingin. Kami juga bertemu trekker lain yang lebih dulu sampai dan juga berencana menuju Poon Hill. Ada duo Italiano Lorenzo dan Dino serta guidenya, Michele dari Amerika tapi ternyata half Indonesia (mukanya chinese gitu) dan seorang remaja dari New Delhi yang saya lupa namanya. Kami bertukar cerita tentang pengalaman trekking serta serangan pacet yang ternyata mereka hadapi juga. Kami pun berencana untuk trekking bersama esok harinya.
Sungguh ini trekking hari pertama yang penuh keseruan dan kejutan !!
Tubuh pun sudah protes minta diajak tidur secepatnya, tak lupa koyo, vitamin, neurobion menemani tidur saya demi badan fit esok harinya. Selamat malam Tikedhunga dan dengkur kami pun bersautan dengan suara jangkrik malam itu.
*PS: Untuk detail harga, ittinerary, tips n trick selama backpacker ke Nepal bisa dilihat di postingan ini.
Pas baca anjing jinak ug nemenin, aku gemeeees, tp lgs ngakak ngebayangin suamiku takuuut banget ama anjing mau sejinak apapun :p. Trauma dia.
Tapiii pas denger ttg pacetnya, huahahahaha aku lgs merinding disko mbaaa. Takuuut banget ama itu binatang wkwkwkw… Hadeeuuuh, pingsan kali kalo nempel di aku :p
wah susah juga ya kalo ngajak suaminya kesana, nggak di kota atau desa banyak anjing soalnya. Kalo masalah pacet aku juga angkat tangan, gimana cara menghindarinya.